WELCOME TO MY BLOG

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Segala Sesuatu Itu Mudah, Tergantung Mindset Anda !!!

Senin, 03 Desember 2012



Jennie S. Bev dikenal sebagai salah satu penulis, pengusaha, dan pengajar yang sukses berkarir di Amerika Serikat. Ia menjadi salah satu anak bangsa yang berhasil menaklukkan kerasnya medan persaingan di ranah global. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini sekarang mantap berkarir di Kalifornia, Amerika Serikat. Sejumlah perusahaan dot.com sedang dia garap dan besarkan, dan sejumlah bisnis offline lainnya juga tengah dalam masa inkubasi. Ia juga aktif menulis di berbagai media di Indonesia, Singapura, Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan Jerman. Lebih dari 900 artikel dalam bahasa Inggris telah dia tulis, dan tak kurang dari 64 buku dalam bahasa Inggris sudah dia terbitkan. Hebatnya, itu semua dia kerjakan di tengah-tengah kesibukannya mengurus bisnis dan masa-masa merampungkan studi doktoralnya.
Belakangan, profilnya banyak menghiasi sejumlah media massa lokal seperti majalah Fit, Femina, Bisnis Kita, Intisari, Chic, dll. Sebelumnya, Jennie juga sudah beberapa kali tampil di media massa internasional seperti Entrepreneur, Teen, People, Dong, Home Business, Canadian Business, Audrey, The Independent, dan San Fransisco Chronicle. Dan pada September 2006 lalu, Jennie merilis buku pertamanya dalam bahasa Indonesia yang berjudul Rahasia Sukses Terbesar. Buku motivasi tersebut mendapat sambutan cukup hangat di Indonesia dan masuk kategori buku laris.
Banyak sekali yang ingin Jennie lakukan, raih, dan berikan kepada sesama, bangsa, dan dunia. Begitulah yang tergambar dalam setiap tulisan maupun wawancara-wawancara yang dia berikan. Orang akan mudah melihat betapa kuatnya karakter Jennie hanya melalui tulisan-tulisan maupun wawancaranya. Ia termasuk sosok yang—berulang-ulang dan tanpa bosan-bosannya—meneriakkan supaya kita, sebagai sebuah bangsa, berani menjadi bangsa yang dignified, sebuah bangsa yang punya “harga diri kesatriaan”. Begitulah istilah dia. Dan tampaknya, anjuran Jennie itu akan semakin berkumandang dan banyak didengar oleh khalayak.
Berikut adalah wawancara Jojo Raharjo, seorang penulis lepas, dengan Jennie S. Bev yang dihadirkan khusus untuk pengunjung setia Pembelajar.com.
Jennie, bisa Anda ceritakan, bagaimana kisah Anda meninggalkan Indonesia untuk memutuskan merantau ke Amerika Serikat?
Setelah lulus FHUI tahun 1994, saya berangkat dulu ke UC Berkeley, tepatnya di tahun 1995, kemudian sempat kuliah di beberapa institusi lainnya. Mungkin ini bersumber dari isi hati saya yang selalu mencari dan gelisah.
Saat itu keberangkatan saya dibarengi dengan kekhawatiran akan kakek saya yang sedang menderita colon cancer (kanker usus besar), maka tidak lama kemudian saya memutuskan kembali dan menemani kakek saya sampai beliau meninggal. Pada 1997 saya memutuskan menikah dengan Beni Bevlyadi, suami saya sekarang. Setahun kemudian dengan keadaan ekonomi Indonesia yang morat-marit (krismon), saya bertekat untuk memperbaiki kehidupan dengan memutuskan merantau. Amerika Serikat menjadi tujuan karena saya sudah kenal negeri ini cukup lama. Juga dengan kemampuan bahasa Inggris lisan dan tulisan yang lumayan, lebih mudah bagi saya untuk survive di sana dibandingkan dengan di Jerman, misalnya.
Sejak 1995 sampai masa krismon pra keberangkatan kedua saya untuk bermigrasi, saya aktif menulis di tabloid Kontan, The Jakarta Post, dan The Indonesian Observer untuk kolom opini. Ini juga dilakukan sambil bekerja di sebuah perusahaan printing dan publishing asal Jepang di Singapura dan juga mengajar di salah satu business college di Sunter, Jakarta. Saya ingat artikel pertama saya dimuat di The Jakarta Post, judulnya “End to Thesis Requirement Sets Us One Step Back.” Saya masih simpan fotokopinya. Namanya juga artikel pertama, jadi dikenang terus.
Bekal saya merantau saat itu hanyalah biaya hidup untuk satu tahun, TOEFL score nyaris sempurna, dan keyakinan membara bahwa di manapun saya berada, di situlah rumah saya dan di situlah sukses bisa diraih. Amerika Serikat sebagai negara adidaya dengan kaum intelektualnya yang sangat maju dalam banyak bidang merupakan daya tarik tersendiri bagi saya.

Bukankah untuk menjadi seekor singa, maka kita perlu bergaul dengan singa pula? Jadilah saya memilih Kalifornia, bukan negara bagian lainnya. Kalifornia sendiri adalah kekuatan ekonomi dunia nomor enam, dan satu-satunya yang bukan negara (hanya negara bagian). Di antara singa ini, terutama di Silicon Valley, saya bertarung. Menang atau kalah, sekarang sudah mulai bisa dijawab.
Banyak orang berpandangan sinis kepada orang Indonesia yang sukses dan tidak kembali ke Tanah Air. Sering terungkap kata-kata seperti “anasionalis” dan lain-lain. Bagaimana pandangan Anda terhadap anggapan seperti itu?
Saya mengerti pandangan seperti ini, karena saya juga sering “dituding” demikian. Pertama-tama, kita perlu melihat dengan jujur bagaimana Indonesia sebagai tempat untuk eksistensi. Sebagai contoh, seorang profesor ahli fusi maupun ahli kloning, misalnya, apa yang bisa ia lakukan di Indonesia? Tanpa ada laboratorium yang memadai, apa yang bisa diperbuat? Pemerintah Indonesia sendiri mungkin tidak punya dana untuk membangun laboratorium super canggih seperti itu.
Di sisi lain, banyak orang Indonesia yang sukses di luar negeri namun dipandang “anasionalis” tersebut sebenarnya merupakan duta bangsa Indonesia secara tak resmi. Bukankah dengan berkarya di bidangnya masing-masing, ia memberikan sumbangsih yang membawa nama harum bangsa Indonesia di dunia internasional? Daripada profesor ahli kloning itu kembali ke Indonesia dan malah cuma bekerja serabutan saja, bukankah ia lebih baik berkarya maksimal di laboratorium yang sungguh-sungguh istimewa dan lebih dari memadai untuk berkarya luar biasa? Siapa lagi yang bangga dengan keharuman nama profesor ahli kloning itu? Indonesia, bukan? Bukan Amerika Serikat lho, jangan salah.
Coba lihat betapa banyak ahli komputer asal India di Silicon Valley? Mereka sampai mati pun akan diidentifikasi sebagai orang India, bukan sebagai seorang Amerika karena mereka memang berasal dari India. Dengan keberhasilan mereka sebagai pekerja intelektual, nama India sampai sekarang demikian harum sebagai hub intelektual dunia yang sangat diperhitungkan. Dan mereka menjadi jembatan bagi perusahaan-perusahaan India yang reputasinya baik untuk bergerak di Amerika Serikat karena adanya dukungan moril.
Bagi Indonesia untuk sungguh-sungguh mengikuti perkembangan dunia dan supaya diperhitungkan dunia internasional, kita mesti bergerak dari luar Indonesia. Tujuannya tidak lain supaya dunia internasional mengenal Indonesia sebagai hub intelektual, bukan hanya pengekspor pembantu rumah tangga. Memang ini juga sudah baik, namun alangkah baiknya kalau Indonesia juga dikenal sebagai negara penghasil kaum intelektual?
Saya sendiri walaupun bukan profesor ahli fusi maupun kloning, mungkin adalah satu-satunya orang asal Indonesia telah memecahkan beberapa barrier sekaligus. Dalam beberapa bidang, karya saya jauh lebih baik dari mayoritas orang asal Amerika. Dan tentu saja, mereka juga tahu asal-muasal saya, yaitu saya orang yang dilahirkan di Indonesia. Mudah-mudahan karya-karya kecil saya memberi arti sedikit bagi Indonesia dan Asia.
Kembali ke soal nasionalisme, apakah dengan kembali ke Indonesia lantas kerja serabutan lebih baik daripada tinggal di luar negeri namun mengharumkan nama bangsa dengan karya-karyanya? Anda sendiri yang bisa menjawab.
Saya sendiri cinta Indonesia, terutama mereka yang kurang mampu dan terlantar. Sekarang, dengan penghasilan cukup di luar Indonesia, bukankah cukup banyak yang bisa saya lakukan? Misalnya, sekarang saya punya beberapa anak asuh dan bermaksud untuk menyumbangkan seluruh (100 persen) royalti dari buku Rahasia Sukses Terbesar bagi anak-anak yatim piatu dan terlantar. Saya tidak bisa lakukan banyak hal untuk kemanusiaan kalau saya masih kerja sebagai dosen di Indonesia, yang nota bene gajinya mungkin untuk biaya hidup pas-pasan saja.
Nasionalisme bukan berarti letak geografis seseorang, namun bagaimana arti sumbangsih seseorang terhadap Tanah Air dan dunia internasional. Harumkah nama Indonesia dengan Anda berada di Indonesia? Adakah manfaat nyata bagi Indonesia dengan Anda berada di Indonesia? Jika Anda bisa memilih hidup dan berkarya maksimal dengan pengakuan internasional di luar negeri, namun di Indonesia profesi Anda tidak bisa mendapatkan tempat berarti yang lantas membuat Anda kerja serabutan, mana yang dipilih? Anda pasti bisa menjawab.
Kapan saya kembali ke Indonesia? Dalam dua tahun ini, setelah kuliah yang sudah lama terbengkalai ini selesai dan setelah saya menyerap sudah cukup banyak ilmu yang pantas untuk dikontribusikan kembali kepada Indonesia. Saat ini saya sedang luar biasa sibuk dengan segala macam inkubasi bisnis, menulis disertasi, dan memperkuat fisik supaya lebih prima lagi. Dengan hidup gaya militan seperti ini, saya selalu terfokus dengan pencapaian setiap hari.

Nanti ketika saya kembali ke Indonesia, saya tidak akan tanggung-tanggung lagi. Tunggu tanggal mainnya, kawan. Kalau saya tidak akan kembali ke Indonesia, untuk apa saya memperkenalkan diri sekarang? Bukankah lebih baik saya “diam-diam” saja, toh prestasi saya sudah cukup lumayan di luar negeri?
Buku Rahasia Sukses Terbesar ini bukan buku pertama Anda. Bahkan, buku elektronik Guide to Become a Management Consultant menyabet finalis 2003 EPPIE Award. Sebenarnya, nilai-nilai apa yang Anda ingin sampaikan dalam setiap karya Anda?
Buku ini merupakan buku ke-64, ada beberapa buku lagi yang sedang diedit dan belum dirilis, namun kebanyakan dalam bahasa Inggris. Buku ini adalah buku pertama saya dalam bahasa Indonesia.
Setiap karya saya merupakan cernaan saya, biasanya saya mensimplifikasikan konsep-konsep rumit menjadi sederhana. Itulah sebabnya saya tidak pernah menyebut diri saya sebagai seorang jurnalis, karena saya mencerna dulu apa yang saya terima, baru dituangkan kembali dalam bentuk tulisan. Saya adalah an opinionated writer, kecuali ketika menulis artikel-artikel ilmiah.
Nilai yang ingin saya sampaikan hanya satu: segala sesuatu itu mudah, intinya adalah mindset dan bagaimana meng-approach sesuatu. Hal-hal yang rumit mesti disederhanakan dan dijalankan tanpa banyak neko-neko. Maju terus dengan hati yang lurus dan bersih. Bantu mereka yang kurang beruntung di sepanjang perjalanan, supaya bisa sama-sama mencapai gunung kesuksesan.

Apa cita-cita Anda pada masa kecil? Dan, saat ini, bagaimana perasaan Anda, ketika melihat pencapaian-pencapaian Anda? Apakah Anda merasa puas, menyesal, kurang optimal, atau yang lain?
Cita-cita saya tidak pernah tetap, selalu berganti-ganti. Terakhir saya memutuskan untuk menjadi seorang ahli hukum supaya bisa menegakkan keadilan. Ternyata, hukum tidak bisa menjamin keadilan (law is not justice), namun kepentingan-kepentingan para pihak yang dijustifikasikan (law is to justify actions).
Malah saya bisa lebih banyak berbuat tanpa dengan embel-embel “lawyer,” karena dengan menjadi diri sendiri, saya bisa bertindak dengan membawa misi dan visi sendiri, tidak dibatasi oleh satu perspektif saja (dalam hal ini hukum). Sebagai pemegang gelar Master di bidang pendidikan, saya merasa lebih berguna karena kita semua selama masih bernafas merupakan pembelajar. Kita selalu belajar setiap saat. Pendidikan MBA saya juga sangat berguna supaya bisa survive di dunia usaha, yang hasilnya juga bisa dinikmati oleh mereka yang sungguh-sungguh memerlukan bantuan.
Nggak perlu neko-neko, kerja, belajar, dan memberi. Begitu terus berulang-ulang, itulah pencapaian hidup saya yang terbesar.

Di antara berbagai kutipan orang-orang terkenal yang menjadi inspirasi Anda, ada juga yang berasal dari Soe Hok Gie, “Lebih baik menjadi orang yang diasingkan, daripada menjadi orang munafik.” Apa arti pernyataan itu bagi Anda?
Saya menjunjung tinggi kebenaran dan etika, itu juga salah satu “rahasia” saya bisa survive di negara asing, bahkan sudah cukup memadai dan kadang-kadang berkelimpahan. Saya tidak suka neko-neko, yes or no. Pertahankan itu. Jika tidak sesuai dengan kata hati, saya tidak akan berpura-pura, namun tentu saja saya tetap perlu sopan terhadap orang lain. Namun sikap saya yang tidak suka kemunafikan ini tidak bisa dibilang selalu menguntungkan saya, karena kadang kala jadi senjata makan tuan.
Tetapi saya puas karena saya tidak menipu diri sendiri. Lebih baik orang lain tidak suka kepada saya karena kejujuran saya, daripada saya tidak suka kepada diri sendiri karena kemunafikan. Bukankah begitu?

Anda membentuk komunitas tersendiri untuk mengapresiasi karya Anda. Semacam fans club. Apa visi dan tujuan dari kumpulan orang-orang dalam komunitas ini?
Saya manusia biasa, perlu motivasi hidup juga. Dengan kehadiran mereka yang menyambut positif karya-karya saya, semakin termotivasi untuk berkarya semakin baik dan semakin banyak. Mudah-mudahan mereka pun bisa saling belajar satu sama lain, sehingga bisa saling memperkaya batin.

Semakin hari, kecenderungan orang berkomunikasi dengan teknologi informasi semakin membesar. Saat ini, ribuan situs dibuat setiap harinya. Jarak menjadi bukan masalah dengan fasilitas internet. Bagaimana Anda menyikapi fenomena ini? Positively or Negatively?
Internet adalah femonena luar biasa. Dulu ketika aktif menulis untuk tabloid Kontan, saya pernah menulis tentang Universitas Virtual dan Menjadi Eksekutif Portabel. Kedua hal itu sekarang sedang saya lakoni dan menjadi kegiatan sehari-hari. Sepuluh tahun yang lalu, kedua konsep itu seperti hidup di awang-awang, malah tidak sedikit orang-orang dekat saya yang mencibirkan bibirnya mendengar pandangan saya tersebut.
Internet membuka demikian besar kesempatan untuk bergerak. Di mana pun berada. Indonesia pun bisa bergerak melalui Internet, sepanjang etika tertinggi dijunjung dan perkembangan teknologi diikuti dengan seksama. India dan Cina adalah contoh nyata, bahkan Filipina pun yang mungkin dulu tidak begitu diperhitungkan, sudah menjadi pelaku bisnis di Internet. Menjadi pemain global sudah bukan impian lagi, intinya tinggal mempelajari aspek-aspek nonteknis dalam bisnis, seperti mempelajari budaya, etika kerja, dan tata krama. Juga kemampuan berbahasa Inggris, yang merupakan bahasa utama di Internet.

Intinya adalah harga diri dengan semangat kesatriaan. Dengan adanya hal ini, iri dan dengki berbalik menjadi semangat untuk maju dan memberi.
Apa saja sebenarnya faktor-faktor yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan? Bagaimana peran mimpi, alias visi yang kita tanamkan sejak dini untuk memacu hidup kita?
Sukses sendiri perlu didefinisikan dengan benar. Menurut pandangan saya, sukses adalah mindset. Saya adalah sukses, sukses adalah saya. Bukan pencapaian materi. Bukan pula prestasi yang kasat mata. Sukses adalah tentang being and becoming. Seorang sukses adalah seseorang yang bisa bertahan hidup tanpa kehilangan dirinya sendiri di dalam segala situasi.
Saat tidak punya uang, seorang sukses tidak lantas menyebut dirinya “tidak sukses.” Sukses sebagai mentalitas alias mindset memberikan kekuatan untuk menanggung kegagalan, walaupun berkali-kali. Untuk apa berubah menjadi pesimistis kalau sukses adalah Anda sendiri? Apa pun yang Anda kerjakan, jika dilakukan dengan mindset sukses, akan memberikan buah sukses pula pada akhirnya.
Seperti saya dulu yakin sekali dengan kehebatan sekolah virtual dan kerja virtual walaupun dicerca habis-habisan, ini merupakan suatu visi yang menjadi “blue print” keberadaan saya sendiri. Saat itu saya belum terpikir untuk menjadi pelaku, namun dengan menjadikan keyakinan ini menjadi bagian penting dalam diri saya, sekarang saya menjadi pelaku yang cukup diperhitungkan di pusat intelektual dunia ini.

Anda juga memiliki ketertarikan yang kuat pada dunia film. Apa keinginan tertinggi untuk mengembangkan diri dalam bidang film? Menjadi produser atau penulis skenario misalnya.
Betul, saya sudah berguru kepada Robert McKee. Beliau ini pencetak pemenang Piala Oscar dengan puluhan eks muridnya yang berhasil gemilang di dunia perfilman. Saya sendiri sangat tertarik dengan film-film dokumenter atau film-film ala dokumenter.
Saya ingin memperlihatkan kepada dunia seperti apa dunia ini di mata saya. Saat ini saya sedang menegosiasikan pembuatan film di Perancis. Idealnya dalam dua tahun di muka, saya bisa berkarya di dunia perfilman di Indonesia, namun izinkan saya belajar dulu di Hollywood, karena sekali lagi pusat intelektual dunia letaknya di AS. Dengan belajar dari para pemenang ini, mungkin ada sedikit sumbangsih yang bisa saya tularkan ke Indonesia nanti.

Selama hampir 10 tahun berkelana di AS, bagaimana Anda melihat pola hidup dan tingkat disiplin orang Indonesia dan pekerja di negara barat pada umumnya—soal ketepatan waktu, kebiasaan mengeluh, inovasi, dll?
Kembali ke pribadi masing-masing, namun yang jelas pekerja-pekerja di negara barat kebanyakan mempunyai sifat yang grateful (bersyukur) selama masih ada pekerjaan dan lebih profesional dalam menjalankan tugas. Tentu saja tidak semua pekerja Indonesia buruk dan pekerja AS lebih baik, dan sebaiknya kita tidak men-stereotype pekerja asal Indonesia dan negara-negara lain.

Semangat belajarnya, mungkin, yang membedakan tingkat produktivitas. Etika kerja yang berasal dari “tidak mau mengambil apa yang bukan haknya atau miliknya” mungkin juga yang membedakan pekerja negara-negara maju dengan yang berasal dari Indonesia. Sekali lagi, hal ini mesti ditunjang dengan dignity alias harga diri kekesatriaan, yang mungkin perlu ditingkatkan lagi di Indonesia.
Dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia seperti saat ini, bagaimana Anda melihat prospek bangsa ini (Indonesia) ke depan? Anda optimis, negeri ini bisa bangkit bersaing dengan macan-macan Asia, dan negara-negara dunia ketiga lain yang terus berkembang?
Beberapa tahun lalu, Malaysia dan Vietnam belajar dari Indonesia soal membudidayakan padi. Namun, sekarang kita sudah ketinggalan dari mereka. Apa masalahnya? Mungkin bukan tempatnya saya untuk menunjukkan kepada siapa pun, namun izinkan saya untuk memberi masukan membangun.
Pertama, kestablian keamanan negara sangat menentukan perkembangan ekonomi. Kedua, pengembangan infrastuktur (jalan-jalan dan telekomunikasi) merupakan pendukung utama roda ekonomi dan kebudayaan. Ketiga, mindset sejajar dengan bangsa lain yang sungguh-sungguh didukung oleh prestasi anak negeri. Saat ini kebanggaan Indonesia kurang didukung dengan prestasi-prestasi nyata. Tidak perlu melulu dalam bidang olah raga, namun lebih penting lagi di bidang teknologi, komunikasi, dan intelektual.
Dan tentu saja tidak perlu tunggu bantuan pemerintah untuk berbuat sesuatu. Jalankan saja yang terbaik yang bisa Anda lakukan. Apabila Anda hanya bisa memasak, jadilah tukang masak yang paling baik selingkungan Anda. Jika Anda hanya pintar main gitar, jadilah pemain gitar paling sohor sekota tempat tinggal Anda. Intinya jadilah diri Anda yang terbaik, bukan hanya sekadar bernapas untuk hari ini.

Seluruh royalti dari buku ini akan Anda sampaikan kepada anak-anak terlantar yang membutuhkan bantuan. Apa misi di balik niat mulia ini?
Membangun awareness untuk memberi. Jika kita berkelimpahan, tunjukkan kelimpahan kita itu dengan memberi, bukan dengan menjadi super pelit dan sangat memproteksi kekayaan materi kita. Saya berharap supaya semakin banyak orang-orang yang merasa berkelimpahan untuk selalu memberi, bukan hanya ketika agama mengharuskan, namun karena panggilan hati.
Juga, dengan semakin banyak kita memberi bagi mereka yang sungguh-sungguh memerlukan, maka semakin mulia arti uang bagi kita semua. Selama ini orang memandang uang sebagai sebagai sesuatu yang negatif dan mengandung konotasi maksiat. Ini salah besar. Sebagaimana pisau, uang adalah netral. Bagaimana arti uang sebenarnya tergantung oleh apa yang kita perbuat dengan uang itu.
Tentu saja kita perlu selektif dalam memberi karena akan banyak semut yang mengerumuni gula, bukan? Hati-hatilah dalam memberi supaya kita tidak membangun bentuk kemalasan dan kepecundangan baru.

Banyak orang cenderung gamang menghadapi bisnis baru yang akan dirintisnya. Sering bayangan akan kegagalan lebih besar daripada optimisme akan keberhasilan. Ada tips untuk mereka?
Kembali lagi, sukses adalah mindset. Kegagalan di satu bidang atau satu kali saja, tidak membuat Anda seorang pecundang. Sambutlah kegagalan sebagai salah satu cara untuk belajar dan berkaca apa saja yang perlu diperbaiki lagi. Seorang sukses tidak pernah takut gagal, malah ia dengan suka cita dan rendah hati menggunakan kesempatan ini untuk belajar. Jangan takut gagal, karena dengan Anda takut gagal, sebenarnya Anda takut menjadi sukses

SIFAT KEPITING




Saat menjelang malam hari di tepi pantai, terlihat para nelayan melakukan kegiatan, yakni menangkap kepiting yang biasanya keluar dari sarang mereka di malam hari. Kepiting-kepiting yang ditangkap oleh nelayan, sebagian kecil akan menjadi lauk santapan sekeluarga, sebagian besar akan di bawa ke pengumpul atau langsung ke pasar untuk di jual.
Para nelayan itu memasukkan semua kepiting hasil tangkapan mereka ke dalam baskom terbuka. Menariknya, baskom tersebut tidak perlu diberi penutup untuk mencegah kepiting meloloskan diri dari situ. Ada yang menarik dari tingkah laku kepiting-kepiting yang tertangkap itu. Mereka sekuat tenaga selalu berusaha keluar dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat, tetapi jika ada seekor kepiting yang nyaris meloloskan diri keluar dari baskom, teman-temannya pasti akan berusaha keras menarik kembali ke dasar baskom. Begitulah seterusnya, sehingga akhirnya tidak ada seekor kepiting pun yang berhasil kabur dari baskom. Sebab itulah para nelayan tidak membutuhkan penutup untuk mencegah kepiting keluar dari baskom. Dan kemudian mati hidupnya si kepiting pun ditentukan keesokan harinya oleh si nelayan.
Sungguh menarik kisah dari sifat kepiting tadi, mengingatkan kita pada kehidupan manusia. Kadang tanpa disadari, manusia bertingkah laku seperti kepiting di dalam baskom. Saat ada seorang teman berhasil mendaki ke atas atau berhasil mencapai sebuah prestasi, yang seharusnya kita ikut berbahagia dengan keberhasilan itu, tetapi tanpa sadar, kita justru merasa iri, dengki, marah, tidak senang, atau malahan berusaha menarik atau menjatuhkan kembali ke bawah. Apalagi dalam bisnis atau bidang lain yang mengandung unsur kompetisi, sifat iri, tidak mau kalah akan semakin nyata dan bila tidak segera kita sadari, kita telah menjadi monster, mahluk yang menakutkan yang akhirnya akan membunuh hati nurani kita sendiri.
Gelagat manusia yang mempunyai sifat seperti halnya sifat kepiting yaitu :
1. Selalu sibuk merintangi orang lain yang akan menuju sukses sehingga lupa berusaha untuk memajukan diri sendiri.
2. selalu mencari dan menyalahkan pihak di luar dirinya
Pembaca yang berbahagia.
Tidak perlu cemas dengan keberhasilan orang lain, tidak perlu ada menyimpan iri hati apalagi tindakan yang bermaksud menghalangi teman atau orang lain agar mereka tidak maju. Buang pikiran negatif seperti itu!
Karena sesungguhnya, di dalam persaingan bisnis atau persaingan di bidang apa pun, tidak peduli berakhir dengan kemenangan atau kekalahan, masing-masing dari kita mempunyai hak untuk sukses!
Cheng Gong Shi Wo Men De Quan Li
Success is our right! Jika kita bisa menyadari bahwa Success is our right, sukses adalah hak kita semua!, maka secara konsekuen kita bisa menghargai setiap keberhasilan orang lain, bahkan selalu siap membantu orang lain untuk mencapai kesuksesannya. Untuk itu, dari pada mempunyai niat menghalangi atau menjatuhkan orang lain, jauh lebih penting adalah kita siap berjuang dan sejauh mana kita sendiri mengembangkan kemampuan dan potensi kita seutuhnya. Sehingga hasil yang akan kita capaipun akan maksimal dan membanggakan!


SIAPAKAH AKU?



   
Seorang guru spiritual, Ajahn Chah, suatu saat pernah mendapat pertanyaan, “Guru, di manakah tempat tinggal Anda?”
“Saya tidak tinggal di mana pun,” jawab Ajahn Chah.
“Bukankah Guru tinggal di vihara?” tanya seorang umat dengan penasaran.
“Saya tidak tinggal di mana pun. Karena sebenarnya tidak ada Ajahn Chah. Karena Ajahn Chah tidak ada maka tidak ada yang tinggal di suatu tempat,” jawab Sang Guru.

Dalam kesempatan lain Ajahn Chah mendapat pertanyaan dari dua orang yang berbeda, “Siapakah Ajahn Chah?”
Jawaban Ajahn Chah juga berbeda. Untuk penanya pertama ia menjawab, “Ini, inilah Ajahn Chah.”
Sedangkan untuk penanya kedua ia menjawab, “Ajahn Chah? Tidak ada Ajahn Chah.”

Saya bingung saat membaca jawaban guru spiritual ini. Lha, mana ada orang yang nggak punya tempat tinggal. Dan lebih aneh lagi ia menjawab, “Tidak ada Ajahn Chah.” Berarti ia menyangkal keberadaan dirinya. Lha, kalau Ajahn Chah tidak ada lalu siapakah yang bernama Ajahn Chah? Atau siapakah yang sedang berbicara?
Jawaban yang singkat namun sangat dalam ini membutuhkan beberapa waktu untuk saya telaah, renungkan, kunyah perlahan-lahan hingga akhirnya saya bisa memahami intisari dari pernyataan Beliau.
Selain melakukan indepth thinking saya juga membutuhkan informasi tambahan untuk benar-benar bisa mengerti maksud Beliau. Sebagai seorang yang terbiasa berpikir logis maka saya membutuhkan informasi pendukung mengapa Ajahn Chah berkata, ”Tidak ada Ajahn Chah?” Apa maksud Beliau dan apa hubungannya dengan proses berpikir dan ”aku”? Jika tidak ada Ajahn Chah lalu siapakah orang yang mengeluarkan pernyataan?
Pembaca, setelah berpikir dan berpikir....eureka... akhirnya saya mengerti. Ajahn Chah benar. Yang Beliau maksudkan dengan ”Tidak ada Ajahn Chah” adalah padamnya ego yang selama ini menguasai diri kita.
”Aku”, ”Saya”, ”Punyaku”, ”Milikku” semua adalah permainan ego. Ego bekerja dan mempertahankan diri, memperkuat pengaruh, semakin memperbesar dirinya, dan semakin kuat mencengkeram kita dengan menggunakan dua strategi yaitu identifikasi dan separasi. Identifikasi berasal dari akar kata idem, yang berarti sama, dan facere yang berarti membuat. Jadi identifikasi berarti membuat menjadi sama.
Kita, manusia, senantiasa mengidentifikasi diri kita dengan sesuatu. Hal ini tampak dalam pernyataan ”Saya marah”, ”Ini ideku”, ”Ini rumahku”, ”Tubuhku gemuk”, ”Mobilku rusak”, dan masih banyak lagi pernyataan yang serupa.
Saat kita berkata ”Saya marah” maka kita mengidentifikasikan ”saya” dengan ”marah”. Berarti ”saya” sama dengan ”marah”. Saat kita berkata ”Ini ideku” maka kita menyamakan diri kita dengan ide kita. Itulah sebabnya bila ada orang yang mengkritik ide kita maka kita bisa marah besar. Mengapa? Karena kita menganggap orang itu mengkritik diri kita. Nah, ini kan bentuk identifikasi.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita ini sama dengan emosi kita? Apakah kita ini sama dengan ide kita? Tentu tidak.
Marah adalah suatu bentuk emosi. Dan kita tidak sama atau bukan emosi kita. Demikian juga dengan ide. Ide adalah buah pikir (thought) yang dihasilkan oleh pikiran (mind) melalui proses berpikir (think). Pikiran (mind) diarahkan oleh kesadaran (awareness). Kita merasa bahwa kita sama dengan emosi atau ide kita karena ego yang membuatnya seperti itu. Apakah kita sama dengan pikiran kita? Tentu tidak.
Manusia terdiri atas dua bagian yaitu tubuh fisik/badan dan batin. Batin manusia terdiri atas empat komponen yaitu pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran. Dan kita bukanlah batin maupun fisik kita.
Identifikasi ini tampak jelas saat seorang anak menangis sedih karena mainannya rusak. Anak ini sedih bukan karena sayang dengan mainan yang harganya mahal. Anak ini sedih karena identifikasi dalam bentuk ”Mainanku rusak” membuat ”mainan” masuk ke dalam struktur ”aku”. Dengan kata lain, anak merasa yang rusak bukan hanya mainannya namun juga ”dirinya”.
Identifikasi seperti ini juga tampak dalam diri pejabat yang mengalami post power syndrome, pengusaha yang dulu jaya tapi sekarang bangkrut, wanita yang dulunya langsing dan sexy namun sekarang gemuk, dan masih banyak contoh lain. Singkat kata identifikasi membuat seseorang melekat pada sesuatu.
Strategi kedua yang digunakan ego adalah separasi. Separasi maksudnya ”aku” adalah entitas yang berbeda dengan ”orang” atau ”aku” yang lain. Aku tidak bisa ada tanpa adanya ”yang lain”, kamu, dia, mereka. Untuk mempertegas separasi ini ego biasanya menggunakan emosi negatif yang dimunculkan dengan menggunakan strategi ”mengeluh/menyalahkan” dan ”membenci” orang lain.
Semakin kita sering mengeluh atau menyalahkan orang lain maka semakin jelas separasi di antara kita dan mereka. Mengeluh dan menyalahkan diperkuat oleh emosi benci.
Lalu apa sih ego itu? Kok bisa pintar seperti ini kerjanya, sangat halus dan berbahaya?
Ego adalah hasil ciptaan pikiran kita.
Nggak percaya?
Coba lakukan eksperimen kecil ini. Misalnya ada orang yang berkata, ”Hei, manusia kurang ajar. Matamu ditaruh di mana kok sampai nginjak kaki saya?” Bagaimana reaksi Anda? Apakah Anda akan diam, tersenyum, atau marah? Bisa jadi Anda, yang merasa tidak bersalah, akan marah besar.
Nah, sekarang skenarionya diubah. Misalnya saat Anda sedang tidur lelap dan orang ini mengucapkan hal yang sama pada diri Anda. Apa yang akan Anda lakukan? Bagaimana reaksi Anda?
Saya yakin Anda tidak akan berekasi sama sekali. Lha, lagi enak-enak tidur mana bisa mendengar omongan orang. Benar, nggak?
Ego beroperasi saat kita dalam kondisi sadar. Saat kita ”tidak sadar” (baca: tidur) maka ego juga berhenti bekerja.
Saat sedang merenungkan pernyataan Ajahn Chah tiba-tiba saya teringat satu pernyataan yang sangat terkenal dari Rene Descartes, filsuf besar abad ketujuh belas yang dianggap sebagai bapak filosofi moderen, Cogito Ergo Sum, yang kalau dalam bahasa Inggris, ”I think, therefore I am”, dan kalau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi, ”Saya berpikir maka saya ada.”
Lama saya merenungkan pernyataan ini. Mana yang lebih dulu ada. Saya berpikir maka saya ada ataukah saya ada baru saya bisa berpikir? Pemikiran ini akhirnya membawa saya pada satu kesimpulan bahwa sebenarnya ada lebih dari satu ”aku”. ”Aku” yang berpikir dan ”aku” yang berkata ”Saya ada”.
Semuanya menjadi semakin jelas saat saya membaca literatur yang berjudul Unity and Multiplicity: Multilevel Consciousness of Self in Hypnosis, Psychiatric Disorder and Mental Health yang ditulis oleh John O. Beahrs.
Ternyata yang namanya kesadaran atau consciousness itu bertingkat-tingkat (multilevel). Kesadaran atau consciousness yang aktif dalam suatu saat bisa berbeda bergantung situasi dan kondisi.
Kesimpulan ini semakin diperjelas lagi saat saya membaca pernyataan Jean Paul Sartre yang juga mengatakan, ”Kesadaran yang mengatakan ’I am’ bukanlah kesadaran yang berpikir (I think).
Apa maksudnya?
Saat kita sadar mengenai proses berpikir kita, atau dengan kata lain kita menganalisis atau menggunakan pikiran untuk berpikir mengenai apa yang kita pikirkan atau proses berpikir kita maka kesadaran yang melakukan analisis berbeda dengan kesadaran yang melakukan proses berpikir. Secara teknis kemampuan berpikir mengenai berpikir disebut dengan metakognisi.
Saat kita sedang mengalami gejolak emosi maka hati-hati lah karena saat itu ego sedang bermain. Kita sering mendengar pernyataan, ”Saya merasa tersinggung dengan ucapannya.” Atau, ”Ini milikku. Jangan coba-coba sentuh.”
Cara untuk mengatasi cengkeraman ego adalah dengan mengajukan pertanyaan, ”Ok, kalau saya tersinggung, maka sebenarnya bagian mana dari diri saya yang tersinggung?” Apakah rambut saya, telinga saya, mata saya, atau kaki saya?
Sama seperti mobil. Jika ada kawan yang berkata, ”Saya habis nyerempet pembatas jalan. Mobil saya penyok.” Tentu kita tidak akan serta merta menerima pernyataan ini. Kita pasti akan bertanya, ”Bagian mana yang penyok? Bemper depan, kiri, kanan, atau kena di bodi mobil?”
Nah demikian juga dengan manusia. Jika kita tersinggung maka pasti ada bagian yang mengalami perasaan tersinggung. Benar, nggak? Nah, kita harus mencari bagian ini. Sebab, jika kita menerima pernyataan ”Saya merasa tersinggung” secara utuh maka yang terkena dampaknya adalah diri kita secara keseluruhan.
Padahal bila kita teliti maka yang terkena dampak dari perasaan tersinggung sebenarnya hanyalah perasaan kita. Benar, hanya perasaan. Perasaan, yang merupakan salah satu dari empat komponen batin manusia, yang akan selalu mengalami berbagai emosi yang dialami seseorang. Baik itu emosi positif maupun yang negatif. Cara ini bertujuan untuk bisa melepaskan diri dari cengkeraman identifikasi yang dilakukan ego.
Singkat kata, saat kita merasakan sesuatu maka yang merasakan itu adalah ”perasaan”, bukan ”kita” atau ”aku”.
Demikian juga dengan pernyataan, ”Ini milikku.” Bisa kita tanyakan, ”Bagian mana dari diri saya yang memiliki benda ini?” Bagaimana dengan orang yang mengalami amnesia atau lupa ingatan? Apakah orang ini masih bisa mengingat benda yang dulunya menjadi miliknya? Terus... kalau sudah lupa maka konsep ”milikku” runtuh dengan sendirinya.
Nah, pembaca, membaca sejauh ini apakah Anda bisa menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan yang saya tulis sebagai judul artikel ini, ”Siapakah Aku?”.
Saya ingin mengakhiri artikel ini dengan kalimat yang pernah saya baca di satu buku: Saat aku mati, tubuhku akan dikubur dan kembali ke tanah
Jiwaku menunggu penghakiman di akhir jaman
Dan rohku akan kembali kepada Sang Khalik

Pertanyaan saya pada Anda, ”Siapa atau apakah ’aku’ pada kalimat di atas?”